Hai hai!! Selamat pagi, bloggers, dan selamat liburan!
Gak kerasa, ya, kita udah ngelewatin 1 tahun jenjang akademik. Kalau aku rasain sekarang sih.... Waktu tuh berasa cepat juga, ya... Tapi kalau aku liat ke belakang... Agak berat juga, ya... Selama satu tahun kemarin lumayan banyak juga mengeluh karena sekolahnya. Gurunya lah, mata pelajarannya lah, tugas-tugasnya lah, haduh, rasanya ingin nge-skip semuanya! Tapi hey, ya udah lah ya, yang lalu biarkan berlalu, tahun ajarannya udah selesai juga sekarang, kan? Iya. Akhirnya, yaaaa...
Tapi tau kan? Akhir itu sebenernya permulaan yang baru. Masih ada tahun depan, bro! Yaaa, selagi nikmatin masa-masa liburan kayak gini, mengkhayal sedikit boleh lah, yaa...
Tau gak? Kemungkinan besar, aku bakalan betah ada disekolah, ngerti pelajaran, dan gak akan merasa terlalu terbebani kalau 'unsur-unsur' yang ada di sekolahnya tuh bikin aku nyaman... Hah? Unsur-unsur? Unsur-unsur apaan? Hmm, biar aku kasih poin-poin disini, ya.. ^^,
1. Guru
Gimana pun juga, guru itu manusia. Jadi, sifat setiap guru itu pasti beda-beda. Dan 'beda-beda' ini lah yang menentukan siswa-siswinya merasa nyaman/tidaknya dibimbing oleh ibu/bapak guru. Ya, kita sebagai murid yang juga manusia, gak bisa menuntut mereka untuk menjadi seseorang yang kita inginin dong, ya? Ya jadi, wajar aja deh kalau misalkan nemu guru yang mungkin (maaf) killer, menerangkan materinya kecepetan, suaranya kecil bikin ngantuk, jarang masuk kelas, atau mungkin kurang tegas yang akhirnya malah bikin kelas jadi gak tertib.
Tapi harapan sih ya tetep harapan... Dan kalau aku bisa milih tipe guru yang kayak gimana yang aku mau, aku maunya sih kayak guru aku waktu SMP. Sebut saja namanya Bu H. Menurutku, Bu H ini adalah seorang guru yang luar biasa. Selain cara mengajarnya yang enak, dia juga sangatlah baik. Dia ini seorang guru matematika. Dan kami, sebagai anak didiknya, rasanya kami tidak pernah mencatat materi di buku catatan kami. Jadi, Bu H menulis rangkuman materinya di kertas polio yang kemudian rangkumannya itu di fotokopi oleh Bu H sendiri dan disebarkan kepada kami. Sehingga, jam pelajaran di kelas digunakan seluruhnya untuk menerangkan. Dan jika dia memberi kami soal latihan, dia tidak pernah memberikannya banyak-banyak. Tiga soal saja sudah cukup, katanya.
2. Fasilitas dan Lingkungan Sekolah
Kadang aku heran sama Indonesia. Kenapa fasilitas setiap sekolah tuh harus beda-beda? Kenapa harus ada sistem cluster? Kenapa gak semua sekolah di sama ratain aja? Menurutku, tidak perlu lah dikelas itu kita diberi TV LCD ataupun mungkin AC dan loker, karena itu hanyalah kebutuhan sekunder. Yang harus ada di setiap kelas tuh ya... meja, kursi, dan papan tulis, pastinya. Haha, tapi ya, untuk meningkatkan kenyamanan dan kebutuhan belajar, kayaknya asik tuh kalau di setiap kelas dipasang infocus, komputer, printer, dan audio sistem.
Dan untuk sekolahnya sendiri, aku sih inginnya semua fasilitasnya memang benar-benar layak dan memadai. Labolatoriumnya nyaman dan peralatannya lengkap, kamar mandinya bersih dan terjaga, kantinnya sehat, dan mungkin penampakan fisik sekolahnya yang cantik dan membuat orang tertarik untuk masuk.
3. Mata Pelajaran
Haaaaaaaaaaaaaa, kenapa mata pelajaran di Indonesia tuh banyak banget, sih? Ada belasan yang mungkin hampir nyampai angka 20! Wow! Bukan bermaksud membanding-bandingkan. Tapi, jujur, aku iri sama sistem pelajaran di negeri sebrang sana. Dimana kita bisa memilih pelajaran yang kita mau. Disini, kita terperangkap hanya dalam 2 pilihan; IPA dan IPS. Eh atau mungkin ada pilihan ketiga; bahasa.
Kenapa? Kenapa kita harus pelajarin semuanya? Maksud aku, gimana kalau cita-cita kita ingin jadi fotografer? Apa perlu kita belajar kimia? Atau sejarah, mungkin? Nah, maka dari itu, aku ingin sistem mata pelajarannya bisa dipilih sesuai dengan minat dan bakat kita. Sehingga, kita mungkin bisa jadi lebih fokus terhadap suatu hal dibandingkan dengan mengetahui banyak hal secara sekilas.
4. Tugas dan Pekerjaan Rumah
Sebenernya, wajar-wajar aja sih kalau misalkan kita dapet tugas sekolah. Tapi, yang selalu bikin aku kesal tuh ya, kalau tugas dari hampir semua mata pelajaran datangnya barengan. Biasanya, kejadian kayak gitu tuh terjadi kalau kita mau menghadapi Ujian Akhir Semester. Semacam semua guru berlomba-lomba ngasihin tugas. Dan mau gamau harus dikerjain dong, ya? Aku tuh maunya, guru-guru tuh janjian gitu ngasih tugasnya, misalkan hari ini giliran tugas matematika dan bahasa Indonesia, besok bagian Fisika dan bahasa Inggris, dan seterusnya. Walaupun kurang realistis, tapi kan enak gitu ya beban di kitanya gak terlalu berat hahaha. Ini mah, sehari mungkin bisa aja dapet 5 tugas sekaligus. Coba bayangin deh. Di sekolah aku, masuk sekolah tuh jam 6:30. Pulang sekolah jam 15:00. Anggap aja perjalanan pulang, mandi, makan itu butuh waktu 2 jam. Berarti, idealnya, jam 17:00 itu udah waktu yang efektif buat ngerjain kerjaan lain. Dan kerjaan lain itu adalah tugas. Anggap aja 1 tugas butuh waktu 1,5 jam buat ngerjainnya. 1,5x5= 7,5 jam. Berarti, kita bisa selesai ngerjain tugasnya pada pukul.... setengah satu malem! Duh, rumah tuh bukannya tempat buat istirahat, ya?
5. Bentuk Ujian Kelulusan
Yang pasti bukan UN. Aku pernah baca di suatu artikel, sistem pendidikan terbaik di dunia, yakni di Finlandia. Mereka gak pernah tuh ngadain UTS, UAS, UKK, ulangan harian, dan UN. Dan diulang, mereka punya sistem pendidikan TERBAIK di dunia. Mereka ngadain ujian tuh cuman satu kali. Di SMA kelas terakhir, untuk masuk ke perguruan tinggi. Kenapa kita gak niru aja sistem kayak gitu? Dan nilai yang kita peroleh di rapot itu kita dapetin dari sehari-hari kita di sekolah, tugas-tugas, dan PR. Dengan itu, kemungkinan kecurangan yang terjadi (seperti mencontek) itu akan lebih rendah. Kemungkinan siswa untuk bersikap jujur itu sangatlah tinggi. Karena mereka tidak akan merasa takut mendapatkan nilai kecil pada saat ulangan.
*****
Yaa, jadi gitu deh unsur-unsur sekolah yang aku inginin tuh. Aku harap, pendidikan di Indonesia bisa lebih baik daripada sekarang. Dan yang paling aku harapin saat ini tuh sebenernya perbaikan moral bangsa. Kecurangan-kecurangan di sekolah-sekolah Indonesia semakin hari sepertinya semakin marak. Dan menurutku, ini bukan sepenuhnya salah siswa. Kemungkinan, siswa terpaksa melakukan kecurangan karena tuntutan dari pihak penyelenggara; sekolah dan pemerintah. Iya, dituntut mendapatkan nilai tinggi. Mereka mungkin lupa, kalau kita bukan Einsten. Mereka lupa kalau kita punya banyak sekali materi pelajaran yang harus kita ingat.
Dari dulu, secara turun-temurun, kecurangan mungkin memang sudah ada. Tapi, yang aku lihat, semenjak ada UN yang menentukan sebagian dari kelulusan, kecurangan ini semakin menjadi-jadi. Bagaimana tidak, siswa takut tidak lulus. Siswa ingin masuk ke sekolah favorit. Siswa dituntut untuk tidak mencemari nama baik sekolah sehingga siswa harus lulus. Dan siswa lupa, bahwa karena kecerobohannya sendiri dengan bercurang, mereka menjadikan angka 90 di rapot tuh tidak berarti sama sekali. Pada akhirnya, siswa terus melakukan kecurangan. Tanpa henti.
Tuhan, tolong kembalikan jiwa-jiwa suci mereka. Aamiin.